Oleh
: Ida Nuraini
(Menjadi karya 8th The Best Lomba
Kisah Inspiratif Muslimah dalam Event Temu Ilmiah Regional Jabodetabek oleh Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam
bekerja sama dengan BSO Kelompok Studi Ekonomi Islam FE UNJ, Februari 2016 di
UNJ. Karya ini sudah dibukukan bersama karya peserta lainnya )
Seperti
halnya remaja lain di tengah masa pencarian jati diri. Aku yang tengah duduk di
bangku Sekolah Menengah Pertama pun begitu mudah terombang-ambing dalamdilema
hidup. Mulai dari cinta, gaya hidup, idola, hingga hal lainnya yang merambah
dan memasuki hidupku. Bersama dua orang perempuan, Mutia dan Sari, aku
menjelajah masa SMP.
“Arini...
Buat apa menggalaukan dia? Apakah dia memikirkan lo? Udah lah, masih banyak
cowok lain kok. Gak Cuma dia. Lupain dia, masih ada gua dan Sari. Nanti gua
cariin yang lebih baik” hibur Mutia.
Menangisinya
yang pernah kuanggap sebagai dambaan hati namun kini telah pergi. Serasa langit
runtuh. Terkadang logikaku berpikir bahwa hal itu berlebihan, namun siapa nyatanya
hatiku demikian rasanaya. Ya, meskipun tidak berpacaran, hanya teman dekat yang
sekedarnya saja mengobrol via sms. Aku
memang tak pernah berjalan berdua dengannya. Aku bertemu dengannya hanya
beberapa kali karena memang rumahnya dekat dengan Sari.
“Kita
bertiga kan sama-sama pernah merasakan patah hati. Udah lah yuk kita cari yang
lain, aja” sambut Sari sambil menyodorkan ice cream kesukaan kami.
Sejak
saat itu, aku pun sengaja didekatkan oleh kedua sahabatku dengan laki-laki lain
hingga kami pun berpacaran. Ya, sama seperti sebelumnya kami selalu saja dekat
via sms. Bertemu hanya saat aku dan kedua sahabatku ada perlu belajar bersama
menjelang Ujian Nasional.
Tak hanya cinta. Seringkali
aku dan kedua sahabatku main sepulang sekolah tanpa izin kepada orang tuaku.
Sari sudah diperbolehkan mengendarai motor sejak SMP karena memang rumahnya
jauh, di Ciledug. Bermodalkan helm dan jaket, dia berani menerobos jalan raya
yang begitu jauh dari rumahnya. Tak jarang pula, kami nekat berbonceng bertiga
sampai ke rumah Sari. Ya, hanya dengan satu helm.
“Wah,
Sar, gimana nih ada polisi tuh lagi razia. Gawat nih bahaya kita. terobos aja
ya, gua salip mobil dan motor yang ada” ucapku dengan rasa khawatir mengendarai.
Tin....
tinnn......
Klakson
mobil-mobil di sampingku tak ku pedulikan. Terus saja kupercepat laju motor ini
meski beberapa centimeter lagi mungkin kami bisa bertabrakan.
Akhirnyaa.....
“Huff....
Untung selamat. Bisa juga lu rin nerobos dua mobil begitu. Untung polisinya
lagi ngerazia orang lain jadi mereka gak liat kita” Mutia begitu lega ku lihat
dari ka ca spion.
Tak hanya sekali kami nekat menerobos
kendaraan lain demi menghindar polisi. Hal itu melekat menjadi kebiasaan kami.
Beberapa kali juga kami sering mengalami kecelakaan kecil hingga sedang. Tapi kami
tak pernah jera.
Saat
masuk SMK, kami berpisah sekolah. Aku masuk sekolah negeri dan kedua temanku di
sekolah swasta. Di awal masuk sekolah, aku berkeinginan untuk tidak mengenakan jilbab.
“Mamah,
Arini gak usah pake jilbab ya di SMK. Kan ini SMK negeri. Dulu kan pas SMP itu
SMP Islam jadi wajib pakai jilbab. Arini mau rasain gak pakai jilbab ke sekolah
biar kaya perempuan-perempuan lain” tawarku pada mamah yang kalaitu akan membelikanku
seragam sekolah.
“Apa
kamu bilang? Gak! Mamah gak setuju. Perempuan itu wajib berjilbab” mamahku
mulai geram mendengar permintaanku.
“Tapi mah... Arini mau
ikut ekskul basket, PMR dan paduan suara. Kurang bebas kalau pakaijilbab. Plis,
ya mah...” tak menyerah aku menawar.
“Kalau kamumau nekat
begitu. Silakan tapi mamah gak akan bayarin sekolah kamu, mulai dari seragam,
buku dan semuanya. Ingat itu!” amarah mamah benar-benar mengagetkanku.
“Eh, eh jangan mah.
Mana bisa Arini bayarin sekolah sendiri. Hhhh... yaudah deh Arini nurut aja
sama mamah.” Aku terpaksa berjilbab dengan niat setengah-setengah.
Aku begitu iri melihat
siswi lain tak berjilbab begitu bebas. Mereka bisa merias cantik rambutnya
dengan berbagai model dan terlihat begitu anggun. Aku tetap nekat mencoba mengambil formulir ekskul basket. Kupikir aku
bisa menggunakan seragam yang panjang dan berjilbab.
Esok harinya, ditemui
oleh kakak kelas yang saat masa orientasi menjadi penanggung jawab kelasku dan
dia bersama temannya menawarkan formulir rohis kepadaku.
“Duhh... Aku nolak gak
enak nih. Apa aku ikut dua ekskul aja ya?” gumamku dalam hati.
“Yuk, Rin masuk Rohis.
Kamu pas SMP rohis juga kan?” kak Rohmah memberikan formulir itu
“Iya tapi bosen ka, Rohis
SMP begitu-begitu aja. Aku pengen si, tapi bingung.”
“Eitt... Tenang aja, di
sini Rohisnya beda. Banyak nih kegiatannya. Salah satunya mentoring” balas ka
Lisa sambil menunjuk gambar sekumpulan orang yang tengah melingkar.
“Mentoring apa ka?”
jawabku penuh tanya.
“Nanti kamu akan tahu
sendiri kok kalau udah masuk Rohis” jawab kak Rohmah penuh senyum.
“Oke kak, aku coba deh”
entah ini terpaksa atau tidak.
Keesokan hari aku
mengumpulkan formulir itu dan beberapa hari setelahnya aku dan teman rohis
lainnya dikumpulkan dalamsatu lingkaran. Beratapkan birunya langit yang
bersinar terang, kami duduk melingkar di tepi lapangan sekolah. Sungguh teduh
kurasakan. Ternyata kak Rohmah menjadi murobbiku yang pertama kali. Baru kali
ini aku merasakan mentoring. Aku dengan seksama memperhatikan gaya bicara
hingga isi pembahasannya. Kak Rohmah begitu energik dan cerdas. Aku nyaman di
lingkaran ini. Ku tatap langit, ia pun bak tersenyum merona ibarat ikut
bahagia. Tak terasa hatiku seperti menangis. Menangis menyambut datangnya
hidayah dari-Nya.
“Terima kasih ya
Allah,kau berikan hidayah-Mu lewat lingkaran kecil ini. di bawah birunya
langit-Mu, aku dipertemukan dengan sosok kakak yang mampu mengetuk hatiku” lirihku
dalam hati.
“Muslimah yang baik itu
ciri-cirinya ialah muslimah yang taat. Dengan berhijab, kita sudah mentaati
salah satu perintah Allah, dek. Dengan hijab, kita tetap bisa tampil sebagai
muslimah yang cerdas, berprestasi dan mengisnpirasi” nasihatnya yang begitu
menusuk hati. Sejak saat itu ia menjadi contoh untukku.
Ia pun mulai mengerti
bahwa aku ini hanya seorang perempuan yang ingin berhijrah dengan mantap. Aku
pun mulai diikutsertakan dalam kegiatan kepanitiaan di Rohis yang membuatku
semakin berubah. Aku mulai berani mengenakan jilbab panjang dan tidak
transparan yang dulunya ku anggap itu hal aneh.
Betul saja, ketika kita
selangkah mendekat kepada Allah. Maka Allah seribu langkah mendekati. Aku dipertemukan
dengan keluarga Rohis yang begitu tulus menemani hijrahku. Akhwat-akhwat
tangguh yang selalu membuat hidupku bermakna.
Sejak saat itu, aku
selalu merindukan birunya langit yang menjadi saksi akan kemantapan hatiku
untuk berhijrah. Aku pun memutuskan pacarku sejak aku mengenal mentoring dan
masuk kepengurusan Rohis karena aku ‘tertampar’ sendiri di tengah kesibukanku
menjadi aktivis. Aku mulai memperbaiki gaya hidupku yang dulu begitu hambar.
Kini, aku telah menemukan sesuatu yang hilang dalam hidupku. Maha Romantis
Allah, Sang Pemilik langit biru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar