Jumat, 27 Januari 2017

SEBIRU LANGIT HIDAYAH-NYA


Oleh : Ida Nuraini
(Menjadi karya 8th The Best Lomba Kisah Inspiratif Muslimah dalam Event Temu Ilmiah Regional Jabodetabek  oleh Forum Silaturahim Studi Ekonomi Islam bekerja sama dengan BSO Kelompok Studi Ekonomi Islam FE UNJ, Februari 2016 di UNJ. Karya ini sudah dibukukan bersama karya peserta lainnya )
            Seperti halnya remaja lain di tengah masa pencarian jati diri. Aku yang tengah duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama pun begitu mudah terombang-ambing dalamdilema hidup. Mulai dari cinta, gaya hidup, idola, hingga hal lainnya yang merambah dan memasuki hidupku. Bersama dua orang perempuan, Mutia dan Sari, aku menjelajah masa SMP.
            “Arini... Buat apa menggalaukan dia? Apakah dia memikirkan lo? Udah lah, masih banyak cowok lain kok. Gak Cuma dia. Lupain dia, masih ada gua dan Sari. Nanti gua cariin yang lebih baik” hibur Mutia.
            Menangisinya yang pernah kuanggap sebagai dambaan hati namun kini telah pergi. Serasa langit runtuh. Terkadang logikaku berpikir bahwa hal itu berlebihan, namun siapa nyatanya hatiku demikian rasanaya. Ya, meskipun tidak berpacaran, hanya teman dekat yang sekedarnya saja mengobrol via sms.  Aku memang tak pernah berjalan berdua dengannya. Aku bertemu dengannya hanya beberapa kali karena memang rumahnya dekat dengan Sari.
            “Kita bertiga kan sama-sama pernah merasakan patah hati. Udah lah yuk kita cari yang lain, aja” sambut Sari sambil menyodorkan ice cream kesukaan kami.
            Sejak saat itu, aku pun sengaja didekatkan oleh kedua sahabatku dengan laki-laki lain hingga kami pun berpacaran. Ya, sama seperti sebelumnya kami selalu saja dekat via sms. Bertemu hanya saat aku dan kedua sahabatku ada perlu belajar bersama menjelang Ujian Nasional.
Tak hanya cinta. Seringkali aku dan kedua sahabatku main sepulang sekolah tanpa izin kepada orang tuaku. Sari sudah diperbolehkan mengendarai motor sejak SMP karena memang rumahnya jauh, di Ciledug. Bermodalkan helm dan jaket, dia berani menerobos jalan raya yang begitu jauh dari rumahnya. Tak jarang pula, kami nekat berbonceng bertiga sampai ke rumah Sari. Ya, hanya dengan satu helm.
            “Wah, Sar, gimana nih ada polisi tuh lagi razia. Gawat nih bahaya kita. terobos aja ya, gua salip mobil dan motor yang ada” ucapku dengan rasa khawatir mengendarai.
            Tin.... tinnn......
            Klakson mobil-mobil di sampingku tak ku pedulikan. Terus saja kupercepat laju motor ini meski beberapa centimeter lagi mungkin kami bisa bertabrakan.
            Akhirnyaa.....
            “Huff.... Untung selamat. Bisa juga lu rin nerobos dua mobil begitu. Untung polisinya lagi ngerazia orang lain jadi mereka gak liat kita” Mutia begitu lega ku lihat dari ka  ca spion.
            Tak hanya sekali kami nekat menerobos kendaraan lain demi menghindar polisi. Hal itu melekat menjadi kebiasaan kami. Beberapa kali juga kami sering mengalami kecelakaan kecil hingga sedang. Tapi kami tak pernah jera.
            Saat masuk SMK, kami berpisah sekolah. Aku masuk sekolah negeri dan kedua temanku di sekolah swasta. Di awal masuk sekolah, aku berkeinginan untuk tidak mengenakan jilbab.
            “Mamah, Arini gak usah pake jilbab ya di SMK. Kan ini SMK negeri. Dulu kan pas SMP itu SMP Islam jadi wajib pakai jilbab. Arini mau rasain gak pakai jilbab ke sekolah biar kaya perempuan-perempuan lain” tawarku pada mamah yang kalaitu akan membelikanku seragam sekolah.
            “Apa kamu bilang? Gak! Mamah gak setuju. Perempuan itu wajib berjilbab” mamahku mulai geram mendengar permintaanku.
“Tapi mah... Arini mau ikut ekskul basket, PMR dan paduan suara. Kurang bebas kalau pakaijilbab. Plis, ya mah...” tak menyerah aku menawar.
“Kalau kamumau nekat begitu. Silakan tapi mamah gak akan bayarin sekolah kamu, mulai dari seragam, buku dan semuanya. Ingat itu!” amarah mamah benar-benar mengagetkanku.
“Eh, eh jangan mah. Mana bisa Arini bayarin sekolah sendiri. Hhhh... yaudah deh Arini nurut aja sama mamah.” Aku terpaksa berjilbab dengan niat setengah-setengah.
Aku begitu iri melihat siswi lain tak berjilbab begitu bebas. Mereka bisa merias cantik rambutnya dengan berbagai model dan terlihat begitu anggun. Aku tetap nekat mencoba  mengambil formulir ekskul basket. Kupikir aku bisa menggunakan seragam yang panjang dan berjilbab.
Esok harinya, ditemui oleh kakak kelas yang saat masa orientasi menjadi penanggung jawab kelasku dan dia bersama temannya menawarkan formulir rohis kepadaku.
“Duhh... Aku nolak gak enak nih. Apa aku ikut dua ekskul aja ya?” gumamku dalam hati.
“Yuk, Rin masuk Rohis. Kamu pas SMP rohis juga kan?” kak Rohmah memberikan formulir itu
“Iya tapi bosen ka, Rohis SMP begitu-begitu aja. Aku pengen si, tapi bingung.”
“Eitt... Tenang aja, di sini Rohisnya beda. Banyak nih kegiatannya. Salah satunya mentoring” balas ka Lisa sambil menunjuk gambar sekumpulan orang yang tengah melingkar.
“Mentoring apa ka?” jawabku penuh tanya.
“Nanti kamu akan tahu sendiri kok kalau udah masuk Rohis” jawab kak Rohmah penuh senyum.
“Oke kak, aku coba deh” entah ini terpaksa atau tidak.
Keesokan hari aku mengumpulkan formulir itu dan beberapa hari setelahnya aku dan teman rohis lainnya dikumpulkan dalamsatu lingkaran. Beratapkan birunya langit yang bersinar terang, kami duduk melingkar di tepi lapangan sekolah. Sungguh teduh kurasakan. Ternyata kak Rohmah menjadi murobbiku yang pertama kali. Baru kali ini aku merasakan mentoring. Aku dengan seksama memperhatikan gaya bicara hingga isi pembahasannya. Kak Rohmah begitu energik dan cerdas. Aku nyaman di lingkaran ini. Ku tatap langit, ia pun bak tersenyum merona ibarat ikut bahagia. Tak terasa hatiku seperti menangis. Menangis menyambut datangnya hidayah dari-Nya.
“Terima kasih ya Allah,kau berikan hidayah-Mu lewat lingkaran kecil ini. di bawah birunya langit-Mu, aku dipertemukan dengan sosok kakak yang mampu mengetuk hatiku” lirihku dalam hati.
“Muslimah yang baik itu ciri-cirinya ialah muslimah yang taat. Dengan berhijab, kita sudah mentaati salah satu perintah Allah, dek. Dengan hijab, kita tetap bisa tampil sebagai muslimah yang cerdas, berprestasi dan mengisnpirasi” nasihatnya yang begitu menusuk hati. Sejak saat itu ia menjadi contoh untukku.
Ia pun mulai mengerti bahwa aku ini hanya seorang perempuan yang ingin berhijrah dengan mantap. Aku pun mulai diikutsertakan dalam kegiatan kepanitiaan di Rohis yang membuatku semakin berubah. Aku mulai berani mengenakan jilbab panjang dan tidak transparan yang dulunya ku anggap itu hal aneh.
Betul saja, ketika kita selangkah mendekat kepada Allah. Maka Allah seribu langkah mendekati. Aku dipertemukan dengan keluarga Rohis yang begitu tulus menemani hijrahku. Akhwat-akhwat tangguh yang selalu membuat hidupku bermakna.
Sejak saat itu, aku selalu merindukan birunya langit yang menjadi saksi akan kemantapan hatiku untuk berhijrah. Aku pun memutuskan pacarku sejak aku mengenal mentoring dan masuk kepengurusan Rohis karena aku ‘tertampar’ sendiri di tengah kesibukanku menjadi aktivis. Aku mulai memperbaiki gaya hidupku yang dulu begitu hambar. Kini, aku telah menemukan sesuatu yang hilang dalam hidupku. Maha Romantis Allah, Sang Pemilik langit biru.
























Tidak ada komentar:

Posting Komentar