(Tulisan ini telah diikusertakan dalam lomba kepenulisan puisi di UNJ)
Duhai gedung-gedung pencakar langit
Kerlap-kerlip sinarnya silaukan mata
Lalu lalang manusia gagah nan berdasi
juga manusia anggun dengan deretan berliannya
tak kalah melengkapi barisan kemewahan metropolitan
“Indahnya, dan enaknya tinggal di Jakarta”
Begitu kata perantau pemula
yang mendamba menjejakkan kaki di sini.
Matanya tersorot pada satu kata yang bernama ‘megah’
Apakah ia tahu?
Banyak skenario pilu di balik layar kemegahannya
Bagai perlombaan hidup
yang mengumpulkan ribuan tangan saling menyikut
Gemuruh klakson beramai-ramai saling mengalahkan
di tengah merayapnya kuda dan delman berlapis besi
milik orang biasa, hingga karyawan dan pejabat tinggi.
Kepulan asap yang menyebalkan bak meneriakkan
Betapa kota terperangkap dalam polusi tingkat tinggi
Duhai kotaku...
Ku pikir hari tengah siang, sebab keramaian semakin membrontak
Namun... Arloji di tangan mengabarkan bahwa hari masih pagi
Matahari baru beranjak selangkah dari lelapnya.
Tak kenal pagi, siang, sore dan malam
Sesak terasa, tak asing lagi bagi para penghuni kota
Di sudut kanan...
Kerumunan orang kelas atas sibuk duduk manis
Menikmati santapan lezat ditemani gadget yang setia
Ditambah gurihnya canda tawa tanda kemapanan hidup.
Hotel-hotel berbintang siap disinggahi
Tak apa banyak rupiah yang harus keluarkan
Esok hari.. Rupiah itu kembali meninggi, bahkan berkali lipat.
Di sudut kiri...
Berserak botol, plastik dan kaleng di tepi jalan
Terhimpun jadi satu, ditukar dengan rupiah untuk sesuap nasi
oleh tangan pesulap pinggiran
Ya.... Mereka orang-orang pinggiran yang terkalahkan.
Belum selesai perkara, miris kembali menghadang
Di bawah perut jembatan kota
Wajah-wajah itu terhampar lelap dengan alas seadanya
Menikmati malam tanpa atap rumahan, seraya bertutur:
“Kami senang menatap bintang di atas atap jembatan”
Duhai kotaku...
Bagaimana dengan kegelisahan mereka
tiap kali petugas menjaring keberadaan golongan pinggiran?
Hamparan sungai yang dulunya salah satu sumber kehidupan
Menjelma seketika menjadi bak sampah yang tak disukai
Kasihan....
Dulu didekati, kini dijauhi, hanya sedikit yang peduli
Ia bisa apa? Ia tak bisa bersenandung meminta tangan relawan mendekat
Guyuran hujan yang tak terbendung pun mengalahkannya
Berontak air mencari jalannya, hingga sudut kota terkecil
Banjir..... Merendam kota, melumpuhkan langkah massa.
Duhai kotaku.. Ini salah siapa?
Entah... Bertanyalah pada hati kecil, mungkin kita temukan jawabnya
Dan kita bangun kembali kota yang semakin tua ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar