Jumat, 27 Januari 2017

CINTA DARI DUA IBU


Oleh : Ida Nuraini
(Menjadi salah satu karya terpilih lomba cerpen dengan tema “Ketika Aku Kecil” yang telah dibukukan menjadi antologi “Kartun 90-an” bersama karya peserta lainnya oleh Kaifa Publishing, di Bandung, Februari  2015)

            Kehidupan ini sungguh telah diatur begitu indahnya oleh Sang Kuasa. Begitu pun salah satunya dengan kelahiran dan kematian. Setiap harinya, tak pernah bisa kita bayangkan berapa banyak manusia yang terlahir dari rahim seorang ibu dan juga manusia yang meninggal dunia untuk menghadap Ilahi. Dan semuanya sudah ter-setting cantik. Mengulas kisah kelahiranku, sungguh menjadi kekuatan yang mengakar bagiku. Sebab, kisah masa kecil yang seringkali orang tuaku ceritakan, tak henti-hentinya membuatku bersyukur penuh atas apa yang Allah berikan dalam hidupku. Masa kecil yang mengajarkanku arti kasih sayang dua orang ibu. Ibu kandung, dan ibu yang mengasuhku beberapa tahun.
            “Alhamdulillah ya, pak. Anak perempuan yang kita harapkan telah terlahir. Sekarang genap sudah buah hati kita menjadi dua. Dia begitu cantik, semoga ia kelak menjadi anak yang hebat,” kalimat dari Ibuku setelah beberapa jam kelahiranku, kurang lebih delapan belas tahun yang lalu. Saat itu raut wajah Bapak dan Ibuku seakan menggambarkan langit biru yang cerah dan disaut oleh sinar mentari.
            “Iya, bu. Sudah lama aku mendambakan anak perempuan. Dan sekarang Allah telah mengabulkannya. Akan kusayangi anak kita sebagaimana aku menyayangi diriku sendiri.” Senyum pun tak henti-hentinya terpancar dari wajah-wajah pahlawanku ini. Suara tangis manja pun bak menjawab dan meng-aamiinkan harapan-harapan mereka.
            Berada di tengah keluarga yang sederhana, damai dan penuh kehangatan membuat aku tumbuh menjadi anak yang ceria, sehat dan penuh tawa. Namun, siapa sangka bahwa saat usiaku satu tahun, ibuku mulai mengandung lagi. Sebuah surprise dari-Nya yang tak pernah terpikirkan. Tepat saat usiaku satu tahun delapan bulan, dunia menyambut kelahiran adikku. Sebuah bahagia yang sulit dilukiskan oleh ibu dan bapakku, mendapat dua permata hati dalam kurun waktu yang tidak jauh jaraknya. Keajaiban yang baginya juga amanah besar.
            Ibuku memang tangguh dan tak pernah kehabisan akal untuk mengurus dua bayi yang di bawah umur dua tahun. Dengan kerepotan yang mungkin berkali-kali membuatnya lelah, Bapak tidak pernah lupa membantunya tiap kali Bapak pulang dari Jakarta. Ya, bapakku memang sudah bekerja di Jakarta saat itu. Demi menghidupi keluarga, ia harus rela meninggalkan kami di desa dan pulang tiap beberapa bulan sekali.
            “Ibu......Ibu....mau cucu, cepetan cekarang,” logatku penuh tangis saat usiaku kurang lebih dua tahun. Tangisku untuk meminta susu memang seringkali menghebohkan suasana rumah. Tak ada yang bisa menghalangiku untuk meminta susu formula secepat kilat. Aku tak bisa menunggu lama. Semakin lama dibuatkan, semakin tumpah ruah tangisanku.
            “Sabar sayang, ibu lagi mengurus Muis yang habis Ibu mandikan,” senyum Ibu terlihat nyata di balik kerepotannya. Tak ada rasa kesal sedikitpun yang menyelinap.
            Sekuat apa pun tangisku, kalau susu itu sudah melayang ke mulut mungilku, bahagia sudah rasanya. Sungguh, anak kecil yang merepotkan bagiku sebenarnya. Saat aku mendengar cerita itu dari orang tuaku saja, aku tidak percaya bahwa aku begitu manja dan cengeng. Namun, itulah kenyataannya. Entah bagaimana kondisi rumah tiap harinya.
            “Pak, kapan pulang? Atau kalau belum bisa pulang, kirim susu saja untuk Ida. Baru beberapa hari, susunya sudah habis. Bapak tahu sendiri bagaimana anak itu kalau sudah minta susu tidak ada alasan apa pun yang bisa menghalanginya,” tulisan ibu mengawali pembicaraan dalam surat pendeknya. Saat itu masih jarang orang yang memiliki handphone di kampungku.
            Begitulah isi surat yang ibu kirimkan saat kiriman susu tak kunjung datang. Sebegitu sayangnya, ibu dan bapak tak pernah mau kehilangan waktu untuk memberikan sesuatu yang mereka bisa demi anak-anaknya.
            “Kus, sini mendingan Ida saya rawat di rumah. Dari pada kamu kerepotan sendiri, saya tidak tega melihatnya. Saya janji akan merawatnya sepenuh hati saya. Saya  sudah menganggap Ida seperti anak sendiri,” bujuk bude ku yang tengah menggendongku. Bude adalah sebutan khas Jawa untuk kakak dari ibuku.
            “Hmm...apa iya harus saya titipkan padamu, kak? Bagaimana kalau Ida tidak mau? Namanya juga anak kecil, butuh perhatian penuh dari ibunya. Bagaimana kalau dia iri melihat saya mengurus Muis adiknya dengan tangan saya sendiri, sedangkan ia dengan budenya?”, sahut Ibu dengan penuh tanda tanya.
              “Yakinlah, ini yang terbaik. Lihat saja, tiap kali saya ke rumahmu, Ida terlihat nyaman kan? Dia setiap hari juga akan saya ajak ke rumahmu, kan jarak rumah kita hanya beberapa langkah. Tak perlu khawatir, Ida juga akan sering tidur di sini. Saya mau mengasuhnya karena sudah lama saya tidak punya anak bayi, jadi di rumah akan ramai dan bahagia kalau ada Ida,” lanjut Bude dengan senyum rayuannya.
            Bude ku ini memang dekat ibuku. Jarak rumahnya saja tidak jauh. Sejak kelahiranku, bude memang tak pernah lupa membantu ibuku, selain bapak, nenek, kakek dan kakakku di rumah. Bude mengganggap bahwa aku juga merupakan titipan Allah untuknya. Untuk mengisi kesibukan-kesibukannya membuat kerupuk, pergi ke pasar dan ke kebun mencari rumput untuk kambing, hingga mencari cengkeh, bude ingin sekali merawatku.
            Sejak pagi itu, ibu menitipkanku pada bude. Dalam arti, aku akan lebih sering bersamanya, menginap di rumahnya dan diurus olehnya hingga ibu sudah bisa meringankan kerepotannya mengurus dua buah hatinya yang paling kecil. Dengan keluguanku sebagai anak kecil, aku tak pernah risau atau menangis jika berada di tengah-tengah keluarga bude, asalkan selalu ada susu yang ku mau. Hehehe. Begitu pentingnya susu bagiku.
            Pagi itu juga, bude mengajakku ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Dan tak lupa, bude selalu membelikan kue kesukaanku. Kasih sayang bude tak pernah lekang oleh waktu. Tiap kesibukan bude, bude selalu mengantisipasi kerewelanku dengan sebotol susu formula, makanan ringan dan mainan-mainan yang membuatku lupa untuk menangis.
            Jangankan ke pasar, hingga ke kebun pun bude rela untuk kerepotan mengajakku. Sesekali bude harus menggendongku saat aku kelelahan. Bude mengajariku mencari cengkeh yang berserakan di tiap jalan yang kami lewati. Aku pun senang diajak kerja dan wisata kebun bagiku saat itu. Tiap butiran cengkeh yang kami dapat, nantinya akan bude jual demi mendapatkan uang. Aku seringkali tak bisa diam selama perjalanan ke kebun.
            “Aduhhhh.... sakit bude. Tangan aku sakit. Ihhh, itu tanamannya nakal,” ketusku sambil meniup-niup tanganku yang kesakitan setelah memegang ranting pohon yang tajam.
            “Ya ampun, Ida. Mana-mana tangannya? Kan bude bilang jangan nakal. Jangan mainan ranting. Sekarang berdarah kan tangannya. Sini diobatin,” dengan khas khawatirnya bude, memarahi namun bermakna sayang. Bude segera membersihkan tanganku dengan air dan mengobatinya. Setengah hari aku menemani bude mencari cengkeh dengan ulahku yang aneh-aneh. Hingga terkadang, aku tertidur pulas saat bude menggendongku di punggungnya sepulang kami mencari cengkeh. Sungguh menjadi sore yang damai atas kelelahanku.
            Saat malam menjelang tidur, bude juga selalu mengajarkanku banyak hal. Menyikat gigi, mencuci tangan dan kaki hingga baca do’a. Satu hal lagi yang tak pernah kulupa, bude tidak akan tidur jika belum bercerita tentang apa pun kepadaku dan mendengarkan celotehanku yang entah ke mana arahnya. Tapi bude selalu mengapresiasi apa pun yang aku ceritakan. Bude tak lupa mencari cara juga untuk membuatku cepat tidur sebelum larut malam. Kebiasaan unik ku lainnya ialah memegang erat-erat sikut bude sebelum tertidur pulas. Bagiku, lengan dan sikutnya dingin, membuatku mudah tertidur pulas.
            Esok paginya, aku setengah mati terkejut saat bude tidak di sampingku sebangun tidur. Dengan cepat, aku berlari ke dapur. Mencarinya ke sana-sini.
“Mba Tur, bude mana? Bude.... aku mau ikut bude. Bude mana?,” tangisku dengan logat bahasa yang belum sempurna benar menyambar suasana dapur pagi itu. Aku tak mau kehilangan bude tiap pagiku. Ke mana pun bude pergi, aku harus ikut bersamanya. Tak boleh bude melupakanku dan meninggalkanku. Aku kesal bude meninggalkanku pagi-pagi.
“Cup, cup, cup sayang. Sini mba gendong,” jawab mba Tur dengan sigap menggendongku. “Bude ke pasar. Tadi kamu bobonya pulas, jadi bude gak tega banguninnya. Yuk, main sama mba Tur,” ujar mba Tur dengan mengusap tetes air mata bekas tangisku.
Mba Tur adalah anak bude yang kedua sekaligus teakhir. Mba Tur pun tak pernah merasa terbebani dengan kehadiranku. Justru, ia menjadikanku adik barunya. Selama bude di pasar, mba Tur selalu menjadi penghiburku. Dia menerjunkan diri ke dunia kekanak-kanakanku demi membahagiakanku.
“Budeeee...... Yeeee, bude pulang,” teriakku saat mataku menatap sosok ibu keduaku dari halaman rumah yang terlihat kerepotan membawa belanjaannya. dengan senang hati aku berlari dan meraih belanjaan bude yang ringan bagiku. Memang aku ini semakin menyanyangi bude seperti ibuku sendiri.
Setiap hari, bude selalu mengajakku ke rumahku. Ibu pun berderai air mata bahagia tiap menggendongku yang begitu rindunya saat beberapa jam dalam sehari ia lalui tanpa melihatku. Didekapnya aku penuh cinta. Aku dimanja, disuapi nasi, dibuatkan susu dan diajaknya berkeliling desa dengan tetap membawa Muis, adik kecilku. Meski sering kali aku iri saat ibu harus bergilirang menggengdongnya, dan aku diturunkannya tapi aku tetaplah menyanyangi adikku. Aku harus rela berbagi kasih sayang di tengah masa kecilku.
  Hari-hari begitu terasa singkat terlewati hingga aku beranjak lima tahun. Bertahun-tahun bersama bude membuatku menjadi anak paling bahagia karena mempunyai ibu dan bude sebagai malaikat pelindungku di dunia. Hingga pada akhirnya, aku sekeluarga harus berpamitan pada bude. Saat itu, aku dan keluarga harus pindah ke Jakarta. Aku dan keluarga akan pulang tiap setahun sekali. Sungguh, sebuah kesedihan bagiku dan bude terutama.
Bude tak pernah meyangka, impian bude untuk terus bersamaku hingga aku dewasa harus dikuburnya dalam-dalam mengingat aku harus memulai hidup baru bersama keluargaku di Jakarta. Entah apa yang terpikirkan di benakku saat usiaku lima tahun harus berpisah dengan ibu keduaku itu untuk bertahun-tahun lamanya nanti. Yang pasti, aku menangis saat bude mengantarkan ke stasiun, sebagai tanda aku tak mau pisah dari bude.
“Bude...Bude ikut ke Jakarta yuk sama Ida. Naik kereta lho, bude. Ayoo, naik bude, naik. Nanti keretanya keburu jalan. Nanti kita ketinggalan kereta,” ajakan cerewetku dalam keadaan haru biru saat itu. Bude hanya memelukku erat, tersenyum dan sesekali meneteskan air mata. Aku berkali-kali menarik tangannya dan mengajaknya naik. Bude pun menurutinya.
Bude mengantarkanku hingga aku dan keluargaku mendapat tempat duduk di dalam kereta. Bude duduk tepat di sampingku. Aku bahagia karena ku pikir bude akan ikut bersamaku ke Jakarta. Tangisan adikku di kereta saat itu tak pernah kuhiraukan karena ada bude di sampingku. Mungkin adikku tidak betah, atau dia mengantuk karena kereta tak kunjung melaju. Tiba-tiba saja, bude berpamitan saat suara pemberitahuan kereta jurusan Cilacap ini akan segera berangkat dikumandangkan. Pecahlah jeritan tangisku.
“Bude mau ke mana? Bude di sini aja. Bude ikut ke Jakarta kan?” tanyaku sambil tak mau melepas tangan bude yang beranjak dari tempat duduk.
“Hmm, iya. Bude nanti nyusul ke Jakarta, ya. Bude mau ambil baju-baju bude sama mainan Ida dulu,” bude terpaksa bohong.
“Ida, kan ada ibu sama bapak. Benar kata bude, kalau bude sudah menyiapkan baju-baju dan barang bawaannya, bude pasti nyusul. Tenang ya, nak. Kamu tetap akan ketemu bude.” Ibu pun tak mau kalah merayuku meski sedih pun mencabiknya saat itu karena anak dan kakaknya dilanda perpisahan. Aku pun dibuat percaya oleh bude, ibu dan bapak.
Langkah demi langkah, bude menuruni kereta. Dari luar sana, bude, pak de dan mba Tur melambaikan tangan tanda perpisahan kami. Aku menangis sejadi-jadinya. Namun, kereta tak akan mendengarnya dan tak mau tahu, karena kereta tetap melaju semakin cepat. Secepat itu, sosok bude semakin kecil dan tak terlihat sedikit pun. Menjauh sejauh-jauhnya.
Cukup sudah kebersamaanku dengan bude. Setibanya di Jakarta, tak kudapati bude menyusulku. Ibu dan bapak selalu berkata bahwa bude merindukanku. Bude juga menitip pesan agar aku menjadi orang berhasil di Jakarta dan bisa membanggakan sekitarku.
Tiap kali orang tua bertanya, “Ida kalau sudah kerja, uangnya mau buat siapa?”
“Buat bude,” jawabku semangat. Ibu dan bapak hanya tersenyum-senyum mendengar jawabanku. Mereka tahu bahwa aku tetap menyayangi mereka meski bude tetap singgah di hatiku. Setiap hari, aku merindukan bude. Cinta dari dua ibu membuat duniaku berwarna.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar