Oleh
: Ida Nuraini
(Menjadi
salah satu karya terpilih lomba cerpen dengan tema “Ketika Aku Kecil” yang
telah dibukukan menjadi antologi “Kartun 90-an” bersama karya peserta lainnya
oleh Kaifa Publishing, di Bandung, Februari
2015)
Kehidupan
ini sungguh telah diatur begitu indahnya oleh Sang Kuasa. Begitu pun salah
satunya dengan kelahiran dan kematian. Setiap harinya, tak pernah bisa kita
bayangkan berapa banyak manusia yang terlahir dari rahim seorang ibu dan juga
manusia yang meninggal dunia untuk menghadap Ilahi. Dan semuanya sudah ter-setting cantik. Mengulas kisah
kelahiranku, sungguh menjadi kekuatan yang mengakar bagiku. Sebab, kisah masa
kecil yang seringkali orang tuaku ceritakan, tak henti-hentinya membuatku
bersyukur penuh atas apa yang Allah berikan dalam hidupku. Masa kecil yang
mengajarkanku arti kasih sayang dua orang ibu. Ibu kandung, dan ibu yang
mengasuhku beberapa tahun.
“Alhamdulillah
ya, pak. Anak perempuan yang kita harapkan telah terlahir. Sekarang genap sudah
buah hati kita menjadi dua. Dia begitu cantik, semoga ia kelak menjadi anak
yang hebat,” kalimat dari Ibuku setelah beberapa jam kelahiranku, kurang lebih
delapan belas tahun yang lalu. Saat itu raut wajah Bapak dan Ibuku seakan
menggambarkan langit biru yang cerah dan disaut oleh sinar mentari.
“Iya,
bu. Sudah lama aku mendambakan anak perempuan. Dan sekarang Allah telah
mengabulkannya. Akan kusayangi anak kita sebagaimana aku menyayangi diriku
sendiri.” Senyum pun tak henti-hentinya terpancar dari wajah-wajah pahlawanku
ini. Suara tangis manja pun bak menjawab dan meng-aamiinkan harapan-harapan
mereka.
Berada
di tengah keluarga yang sederhana, damai dan penuh kehangatan membuat aku
tumbuh menjadi anak yang ceria, sehat dan penuh tawa. Namun, siapa sangka bahwa
saat usiaku satu tahun, ibuku mulai mengandung lagi. Sebuah surprise dari-Nya yang tak pernah
terpikirkan. Tepat saat usiaku satu tahun delapan bulan, dunia menyambut
kelahiran adikku. Sebuah bahagia yang sulit dilukiskan oleh ibu dan bapakku,
mendapat dua permata hati dalam kurun waktu yang tidak jauh jaraknya. Keajaiban
yang baginya juga amanah besar.
Ibuku
memang tangguh dan tak pernah kehabisan akal untuk mengurus dua bayi yang di
bawah umur dua tahun. Dengan kerepotan yang mungkin berkali-kali membuatnya
lelah, Bapak tidak pernah lupa membantunya tiap kali Bapak pulang dari Jakarta.
Ya, bapakku memang sudah bekerja di Jakarta saat itu. Demi menghidupi keluarga,
ia harus rela meninggalkan kami di desa dan pulang tiap beberapa bulan sekali.
“Ibu......Ibu....mau
cucu, cepetan cekarang,” logatku penuh tangis saat usiaku kurang lebih dua
tahun. Tangisku untuk meminta susu memang seringkali menghebohkan suasana
rumah. Tak ada yang bisa menghalangiku untuk meminta susu formula secepat
kilat. Aku tak bisa menunggu lama. Semakin lama dibuatkan, semakin tumpah ruah
tangisanku.
“Sabar
sayang, ibu lagi mengurus Muis yang habis Ibu mandikan,” senyum Ibu terlihat
nyata di balik kerepotannya. Tak ada rasa kesal sedikitpun yang menyelinap.
Sekuat
apa pun tangisku, kalau susu itu sudah melayang ke mulut mungilku, bahagia
sudah rasanya. Sungguh, anak kecil yang merepotkan bagiku sebenarnya. Saat aku
mendengar cerita itu dari orang tuaku saja, aku tidak percaya bahwa aku begitu
manja dan cengeng. Namun, itulah
kenyataannya. Entah bagaimana kondisi rumah tiap harinya.
“Pak,
kapan pulang? Atau kalau belum bisa pulang, kirim susu saja untuk Ida. Baru
beberapa hari, susunya sudah habis. Bapak tahu sendiri bagaimana anak itu kalau
sudah minta susu tidak ada alasan apa pun yang bisa menghalanginya,” tulisan ibu
mengawali pembicaraan dalam surat pendeknya. Saat itu masih jarang orang yang
memiliki handphone di kampungku.
Begitulah
isi surat yang ibu kirimkan saat kiriman susu tak kunjung datang. Sebegitu
sayangnya, ibu dan bapak tak pernah mau kehilangan waktu untuk memberikan
sesuatu yang mereka bisa demi anak-anaknya.
“Kus,
sini mendingan Ida saya rawat di rumah. Dari pada kamu kerepotan sendiri, saya
tidak tega melihatnya. Saya janji akan merawatnya sepenuh hati saya. Saya sudah menganggap Ida seperti anak sendiri,”
bujuk bude ku yang tengah menggendongku. Bude adalah sebutan khas Jawa untuk
kakak dari ibuku.
“Hmm...apa
iya harus saya titipkan padamu, kak? Bagaimana kalau Ida tidak mau? Namanya
juga anak kecil, butuh perhatian penuh dari ibunya. Bagaimana kalau dia iri
melihat saya mengurus Muis adiknya dengan tangan saya sendiri, sedangkan ia
dengan budenya?”, sahut Ibu dengan penuh tanda tanya.
“Yakinlah, ini yang terbaik. Lihat saja, tiap
kali saya ke rumahmu, Ida terlihat nyaman kan? Dia setiap hari juga akan saya
ajak ke rumahmu, kan jarak rumah kita hanya beberapa langkah. Tak perlu
khawatir, Ida juga akan sering tidur di sini. Saya mau mengasuhnya karena sudah
lama saya tidak punya anak bayi, jadi di rumah akan ramai dan bahagia kalau ada
Ida,” lanjut Bude dengan senyum rayuannya.
Bude
ku ini memang dekat ibuku. Jarak rumahnya saja tidak jauh. Sejak kelahiranku,
bude memang tak pernah lupa membantu ibuku, selain bapak, nenek, kakek dan
kakakku di rumah. Bude mengganggap bahwa aku juga merupakan titipan Allah
untuknya. Untuk mengisi kesibukan-kesibukannya membuat kerupuk, pergi ke pasar
dan ke kebun mencari rumput untuk kambing, hingga mencari cengkeh, bude ingin
sekali merawatku.
Sejak
pagi itu, ibu menitipkanku pada bude. Dalam arti, aku akan lebih sering
bersamanya, menginap di rumahnya dan diurus olehnya hingga ibu sudah bisa
meringankan kerepotannya mengurus dua buah hatinya yang paling kecil. Dengan
keluguanku sebagai anak kecil, aku tak pernah risau atau menangis jika berada
di tengah-tengah keluarga bude, asalkan selalu ada susu yang ku mau. Hehehe.
Begitu pentingnya susu bagiku.
Pagi
itu juga, bude mengajakku ke pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Dan tak
lupa, bude selalu membelikan kue kesukaanku. Kasih sayang bude tak pernah
lekang oleh waktu. Tiap kesibukan bude, bude selalu mengantisipasi kerewelanku
dengan sebotol susu formula, makanan ringan dan mainan-mainan yang membuatku
lupa untuk menangis.
Jangankan
ke pasar, hingga ke kebun pun bude rela untuk kerepotan mengajakku. Sesekali
bude harus menggendongku saat aku kelelahan. Bude mengajariku mencari cengkeh
yang berserakan di tiap jalan yang kami lewati. Aku pun senang diajak kerja dan
wisata kebun bagiku saat itu. Tiap butiran cengkeh yang kami dapat, nantinya
akan bude jual demi mendapatkan uang. Aku seringkali tak bisa diam selama
perjalanan ke kebun.
“Aduhhhh....
sakit bude. Tangan aku sakit. Ihhh, itu tanamannya nakal,” ketusku sambil
meniup-niup tanganku yang kesakitan setelah memegang ranting pohon yang tajam.
“Ya
ampun, Ida. Mana-mana tangannya? Kan bude bilang jangan nakal. Jangan mainan
ranting. Sekarang berdarah kan tangannya. Sini diobatin,” dengan khas
khawatirnya bude, memarahi namun bermakna sayang. Bude segera membersihkan
tanganku dengan air dan mengobatinya. Setengah hari aku menemani bude mencari
cengkeh dengan ulahku yang aneh-aneh. Hingga terkadang, aku tertidur pulas saat
bude menggendongku di punggungnya sepulang kami mencari cengkeh. Sungguh
menjadi sore yang damai atas kelelahanku.
Saat
malam menjelang tidur, bude juga selalu mengajarkanku banyak hal. Menyikat
gigi, mencuci tangan dan kaki hingga baca do’a. Satu hal lagi yang tak pernah
kulupa, bude tidak akan tidur jika belum bercerita tentang apa pun kepadaku dan
mendengarkan celotehanku yang entah ke mana arahnya. Tapi bude selalu
mengapresiasi apa pun yang aku ceritakan. Bude tak lupa mencari cara juga untuk
membuatku cepat tidur sebelum larut malam. Kebiasaan unik ku lainnya ialah
memegang erat-erat sikut bude sebelum tertidur pulas. Bagiku, lengan dan
sikutnya dingin, membuatku mudah tertidur pulas.
Esok
paginya, aku setengah mati terkejut saat bude tidak di sampingku sebangun
tidur. Dengan cepat, aku berlari ke dapur. Mencarinya ke sana-sini.
“Mba Tur, bude mana?
Bude.... aku mau ikut bude. Bude mana?,” tangisku dengan logat bahasa yang
belum sempurna benar menyambar suasana dapur pagi itu. Aku tak mau kehilangan
bude tiap pagiku. Ke mana pun bude pergi, aku harus ikut bersamanya. Tak boleh
bude melupakanku dan meninggalkanku. Aku kesal bude meninggalkanku pagi-pagi.
“Cup, cup, cup sayang.
Sini mba gendong,” jawab mba Tur dengan sigap menggendongku. “Bude ke pasar.
Tadi kamu bobonya pulas, jadi bude gak tega banguninnya. Yuk, main sama mba
Tur,” ujar mba Tur dengan mengusap tetes air mata bekas tangisku.
Mba Tur adalah anak
bude yang kedua sekaligus teakhir. Mba Tur pun tak pernah merasa terbebani
dengan kehadiranku. Justru, ia menjadikanku adik barunya. Selama bude di pasar,
mba Tur selalu menjadi penghiburku. Dia menerjunkan diri ke dunia
kekanak-kanakanku demi membahagiakanku.
“Budeeee...... Yeeee,
bude pulang,” teriakku saat mataku menatap sosok ibu keduaku dari halaman rumah
yang terlihat kerepotan membawa belanjaannya. dengan senang hati aku berlari
dan meraih belanjaan bude yang ringan bagiku. Memang aku ini semakin
menyanyangi bude seperti ibuku sendiri.
Setiap hari, bude
selalu mengajakku ke rumahku. Ibu pun berderai air mata bahagia tiap
menggendongku yang begitu rindunya saat beberapa jam dalam sehari ia lalui
tanpa melihatku. Didekapnya aku penuh cinta. Aku dimanja, disuapi nasi,
dibuatkan susu dan diajaknya berkeliling desa dengan tetap membawa Muis, adik
kecilku. Meski sering kali aku iri saat ibu harus bergilirang menggengdongnya,
dan aku diturunkannya tapi aku tetaplah menyanyangi adikku. Aku harus rela
berbagi kasih sayang di tengah masa kecilku.
Hari-hari begitu terasa singkat terlewati
hingga aku beranjak lima tahun. Bertahun-tahun bersama bude membuatku menjadi
anak paling bahagia karena mempunyai ibu dan bude sebagai malaikat pelindungku
di dunia. Hingga pada akhirnya, aku sekeluarga harus berpamitan pada bude. Saat
itu, aku dan keluarga harus pindah ke Jakarta. Aku dan keluarga akan pulang
tiap setahun sekali. Sungguh, sebuah kesedihan bagiku dan bude terutama.
Bude tak pernah
meyangka, impian bude untuk terus bersamaku hingga aku dewasa harus dikuburnya
dalam-dalam mengingat aku harus memulai hidup baru bersama keluargaku di
Jakarta. Entah apa yang terpikirkan di benakku saat usiaku lima tahun harus
berpisah dengan ibu keduaku itu untuk bertahun-tahun lamanya nanti. Yang pasti,
aku menangis saat bude mengantarkan ke stasiun, sebagai tanda aku tak mau pisah
dari bude.
“Bude...Bude ikut ke
Jakarta yuk sama Ida. Naik kereta lho, bude. Ayoo, naik bude, naik. Nanti
keretanya keburu jalan. Nanti kita ketinggalan kereta,” ajakan cerewetku dalam
keadaan haru biru saat itu. Bude hanya memelukku erat, tersenyum dan sesekali
meneteskan air mata. Aku berkali-kali menarik tangannya dan mengajaknya naik.
Bude pun menurutinya.
Bude mengantarkanku
hingga aku dan keluargaku mendapat tempat duduk di dalam kereta. Bude duduk
tepat di sampingku. Aku bahagia karena ku pikir bude akan ikut bersamaku ke
Jakarta. Tangisan adikku di kereta saat itu tak pernah kuhiraukan karena ada
bude di sampingku. Mungkin adikku tidak betah, atau dia mengantuk karena kereta
tak kunjung melaju. Tiba-tiba saja, bude berpamitan saat suara pemberitahuan
kereta jurusan Cilacap ini akan segera berangkat dikumandangkan. Pecahlah jeritan
tangisku.
“Bude mau ke mana? Bude
di sini aja. Bude ikut ke Jakarta kan?” tanyaku sambil tak mau melepas tangan
bude yang beranjak dari tempat duduk.
“Hmm, iya. Bude nanti
nyusul ke Jakarta, ya. Bude mau ambil baju-baju bude sama mainan Ida dulu,” bude
terpaksa bohong.
“Ida, kan ada ibu sama
bapak. Benar kata bude, kalau bude sudah menyiapkan baju-baju dan barang
bawaannya, bude pasti nyusul. Tenang ya, nak. Kamu tetap akan ketemu bude.” Ibu
pun tak mau kalah merayuku meski sedih pun mencabiknya saat itu karena anak dan
kakaknya dilanda perpisahan. Aku pun dibuat percaya oleh bude, ibu dan bapak.
Langkah demi langkah,
bude menuruni kereta. Dari luar sana, bude, pak de dan mba Tur melambaikan
tangan tanda perpisahan kami. Aku menangis sejadi-jadinya. Namun, kereta tak
akan mendengarnya dan tak mau tahu, karena kereta tetap melaju semakin cepat. Secepat
itu, sosok bude semakin kecil dan tak terlihat sedikit pun. Menjauh
sejauh-jauhnya.
Cukup sudah
kebersamaanku dengan bude. Setibanya di Jakarta, tak kudapati bude menyusulku.
Ibu dan bapak selalu berkata bahwa bude merindukanku. Bude juga menitip pesan
agar aku menjadi orang berhasil di Jakarta dan bisa membanggakan sekitarku.
Tiap kali orang tua
bertanya, “Ida kalau sudah kerja, uangnya mau buat siapa?”
“Buat
bude,” jawabku semangat. Ibu dan bapak hanya tersenyum-senyum mendengar
jawabanku. Mereka tahu bahwa aku tetap menyayangi mereka meski bude tetap
singgah di hatiku. Setiap hari, aku merindukan bude. Cinta dari dua ibu membuat
duniaku berwarna.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar